Recap JILF 2025, Merayakan Kata dan Perlawanan lewat 'Homeland in Our Bodies'

dis | Insertlive
Senin, 17 Nov 2025 14:15 WIB
JILF 2025 Recap JILF 2025, Merayakan Kata dan Perlawanan lewat 'Homeland in Our Bodies'/Foto: InsertLive/Dias
Jakarta, Insertlive -

Gelaran Jakarta International Literary Festival tahun 2025 ini mengusung tema 'Homeland in Our Bodies' atau Tanah Air dalam Tubuh Kita.

Berlangsung di Taman Ismail Marzuki sejak 13 Oktober hingga 16 November 2025, JILF 2025 mampu menyedot atensi publik melalui sejumlah rangkaian acara.

Rangkaian acara dimulai dari Author's Forum yang menghadirkan narasumber dari berbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara, Reading Night membaca karya sastra melalui lintas genre dan lintas bahasa, Live Mural dalam tema 'Tumbuh dan Merambat', hingga Community dan Book Fair yang menghadirkan komunitas di Indonesia seperti Konde.co, Kreaby, Akarpohon, Klub Buku Ibu-ibu, Toko Buku Lawas Balzac serta Turah Sekam X Perpustakaan Jalanan.

ADVERTISEMENT

Tak lupa pameran buku-buku sastra hingga karya-karya zine dari Patjarmerah yang ikut meramaikan acara JILF 2025 serta penampilan utama dari Barasuara dan Majelis Lidah Berduri yang semakin membuat semarak.

Nilai Festival

Citra festival JILF 2025 ini memperlihatkan nilai inklusif serta kolaboratif untuk membuka ruang berdialog mengungkapkan ide, refleksi sosial-politik, serta ekspresi artistik.

Narasi 'Tanah Air dalam tubuh kita' menjadi dasar bagaimana buku atau karya sastra bisa menghubungkan identitas individu, sejarah kolektik dan sebagai 'alat' dari perlawanan dan pemahaman.

Selain itu, JILF 2025 yang rutin digelar sejak 2019 ini menegaskan bahwa komitmen literasi tak hanya membaca buku tetapi membangun ekosistem literasi mulai dari dialog dan koneksi antar-penulis, komunitas literasi, seniman mural, hingga publik.


Dalam pembukaan JILF 2025, Kamis (13/11) kemarin, Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno mengatakan bahwa melalui JILF 2025, ia akan mendorong agar perluasan ekosistem literasi melalui taman baca, perpustakaan digital, serta ruang baca publik akan menjadi komitmen literasi jangka panjang.

Melalui ini, JILF membuka bahwa sastra bisa menjadi ruang politik, menyuarakan ketidakadilan, perlawanan, isu kolonialisme, serta kerinduan akan keadilan sosial melalui narasi puisi, diskusi, serta seni kolaboratif seperti mural.

InsertLive sebagai media partner rangkaian acara JILF 2025, melakukan wawancara langsung soal Palestina dan isu disabilitas di Indonesia, serta mendengarkan langsung panel diskusi 'All Eyes on Papua'.

Baca di halaman selanjutnya.

Isu Palestina tak lagi sekadar konflik kemanusiaan, tapi juga menjadi masalah penjajahan yang harus menjadi perhatian dunia.

Melalui pernyataannya, Zulfah Nur Alimah penerjemah asal Indonesia yang sempat bermukim di Mesir selama belasan tahun ini mengatakan bahwa frasa 'Palestine All of Us' merupakan bentuk solidaritas untuk rakyat Palestina.

"Itu adalah bentuk solidaritas kita untuk teman-teman yang ada di Palestina karena apa yang terjadi pada mereka bisa saja terjadi pada kita," kata Zulfah.

"Apa yang terjadi di Palestina itu menunjukkan atau membuka mata kita tentang sistem global yang ternyata tidak setara. Ada negara-negara yang berkuasa, ada negara-negara yang tidak. Dan negara-negara yang tidak punya kuasa itulah yang tertindas dan akhirnya sekarang Palestina mengalaminya," sambungnya.

Isu Palestina bagi Zulfah menjadi krisis kemanusiaan yang dialihkan dunia. Padahal permasalahan ini tak muncul baru-baru ini karena serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, tapi udah terjadi sejak lama. Bahkan sejak Piagam Balfour di mana Inggris memberikan 'hadiah' berupa tanah kepada Zionis.

"Sejak itu, sampai sekarang Palestina belum mendapatkan kemerdekaannya," tegasnya.

Sebagai penerjemah buku 'Kutukan Bocah Palestina' karya penulis Palestina Mazen Maarouf, Zulfa berharap agar karyanya bisa memberikan wawasan lebih jauh soal Palestina.

"Aku harap dengan diterjemahkannya Kutukan Bocah Palestina ataupun karya Palestina lainnya itu bisa mendorong mereka untuk mencari tahu apa sih sebenarnya yang terjadi di Palestina," ungkapnya.

Zulfah juga berharap agar para Generasi Z bisa lebih banyak terpapar informasi yang membuat mereka peka pada isu global, nasional, serta sekitar.

"Agar teman-teman Gen Z ini bisa bersuara dan beraksi dengan memiliki fondasi yang kuat, teman-teman harus membaca," pungkasnya.

Baca di halaman selanjutnya.

Hak penyandang disabilitas di Indonesia masih digaungkan di berbagai ruang publik meski realitasnya menunjukkan kesenjangan masih terasa.

Muhammad Khambali yang akrab disapa Aang sebagai pendidik serta penulis 'Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan' melihat bahwa akses bagi penyandang disabilitas masih memiliki cara pandang segregatif pada anak berkebutuhan khusus.

Hal ini karena kurikulum yang digunakan di sekolah umum masih terlalu akademis dan berbasis kompetensi. Padahal kebutuhan pembelajaran anak disabilitas sangat bersifat individual yang menuntut fleksibilitas besar.

"Cara pandang segregatif memisahkan pendidikan anak berkebutuhan khusus di SLB, sementara anak lainnya belajar di sekolah reguler. Meskipun pendidikan inklusi sudah mulai berjalan, aksesibilitas dan akomodasi yang layak belum terpenuhi," kata Khambali.

Di hal lain, fasilitas publik di berbagai daerah dan tempat umum belum sepenuhnya ramah disabilitas meski pemerintah terus menggaungkan nilai kesetaraan.

"Regulasi tentang aksesibilitas sebenarnya sudah ada. Namun, kemauan politik pemerintah masih kurang. Pemenuhan hak atas aksesibilitas belum sepenuhnya disediakan negara," paparnya.

Isu disabilitas kerap diwajarkan sebagai permasalahan pribadi padahal isu tersebut menjadi isu kolektif yang membutuhkan kerja bersama bukan tanggung jawab individu.

"Ketika seseorang memiliki disabilitas, itu dianggap sebagai kekurangan individu. Padahal, kondisi disabilitas muncul karena lingkungan sosial dan struktur politik yang belum setara," sambungnya.

Simbol-simbol penyandang disabilitas di ruang publik yang belum diketahui banyak orang juga menjadi masalah baru seolah penyandang disabilitas tak tampak.

"Simbol itu penting agar publik atau fasilitas seperti transportasi dapat mengidentifikasi kebutuhan mereka dan menyediakan akomodasi yang layak," imbuhnya.

Khambali juga menyoroti bagaimana peran Generasi Z dalam isu disabilitas ini.

"Isu disabilitas ini isu sehari-hari. Ketika bersekolah, bekerja, atau mengakses fasilitas publik, isu ini hadir. Gen Z perlu lebih sadar dan dekat dengan isu disabilitas," tuturnya.

Menutup perbincangan, Khambali menjelaskan alasan bahwa sebagian penyandang disabilitas lebih nyaman disebut sebagai difabel ketimbang disabilitas.

Menurut Khambali, hal ini karena ada kesalahpahaman dalam penerjemahan istilah disability dalam bahasa Indonesia.

"Istilah disabilitas sering dipahami sebagai ‘tidak mampu’. Padahal, teman-teman disabilitas memiliki kemampuan, hanya berbeda. Karena itu mereka lebih nyaman disebut difabel—different ability atau kemampuan berbeda," pungkasnya.

Baca di halaman selanjutnya.

Kesenjangan informasi untuk mengenal Tanah Papua kini menjadi lebih dekat dengan cara berkesenian yang menjembatani hal tersebut.

Hal tersebut dilontarkan melalui ruang diskusi 'All Eyes on Papua' yang menghadirkan Septina Rosalina Layan, Angela Flassy, Theresia Tekege, serta Esther Haluk.

"Seni menjadi jalan untuk membuka kembali cahaya pengetahuan yang tertutup oleh berbagai persoalan dan kepentingan yang terjadi selama ini," kata Septina.

Septina menilai bahwa Tanah Papua memiliki banyak nilai, pengalaman, serta cara hidup yang belum banyak diketahui publik.

Seni itu yang menjadi ruang-ruang pengetahuan bisa kembali hidup dan dipahami lagi lebih luas.

Sosok Samanim

Samanim, dikenal sebagai figur perempuan penting dalam tradisi lisan Suku Malind, Papua Selatan. Ia dikenal sebagai sumber pengetahuan keluarga serta komunitas.

Secara turun-temurun, Samanim mewariskan cara memasak sagu, menanam pohon sagu, hingga berburu mencari ikan.

"Samanim mewariskan nilai kebersamaan, keseimbangan, dan penghormatan terhadap kehidupan. Sosok ini penting, tetapi hampir dilupakan karena tak tercatat dalam sejarah," kata Samanim lagi.

Hutan Papua

Angela Flassy, jurnalis serta pembuat film asal Papua ikut berbicara soal masyarakat adat memiliki nilai hidup sederhana yang selaras dengan alam.

Salah satunya, masyarakat adat menjaga hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Ia menegaskan bahwa dunia perlu menyadari peran penting masyarakat Papua sebagai penjaga 'Wakaf Oksigen' bagi dunia.

"Jika tidak ada yang membantu orang Papua melindungi ruang hidup mereka, bagaimana nasib hutan tropis tanpa penjaganya?," pungkas Angela.

Pesan ini menjadi salah satu pengingat bahwa keberlanjutan bumi tak bisa lepas dari kelestarian Papua.

(dis/fik)
1 / 4
Loading
Loading
detikNetwork
UPCOMING EVENTS Lebih lanjut
BACA JUGA
VIDEO
TERKAIT
Loading
POPULER